Syekh Qurotul Ain (Syekh Quro) Dan Prabu Siliwangi


Kian santang prabu siliwangi syekh quro

Bicara mengenai sejarah itu sangat penting, apalagi sejarah itu bisa kita ambil hikmahnya dan harus kita jadikan pelajaran. Syekh Qurotul Ain (Syekh Quro) Siapa beliau ini Dan siapa Prabu pemanah rasa (Prabu Siliwangi). Mari kita simak dibawah ini.


Karomah Syekh Quro , Karawang Pendiri Pesantren Pertama di Pulau Jawa Bisa Menjawab Salam Meski Telah Meninggal dunia. Syekh Quro adalah putra ulama besar Mekkah,penyebar agama Islam di negeri Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih keturunan dari Sayidina Hussen Bin Sayidina Ali Ra.dan Siti Fatimah putri Rosulullah SAW.

Ulama besar ini bergelar Syekh Qurotul’ain dengan nama aslinya Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin. Beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ualam yang hafidz Al-qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya. Konon, beliau pencetus pesantren sebagai candradimuka kaum santri. Beliau adalah leluhur, guru dan teman seperjuangan Walisongo dalam mensyiarkan Islam yang kala itu masih dipenuhi sakralisasi Hindu.

Menurut juru kunci makamn, Habib Rista, Syech Quro sempat membangun masjid dengan nilai arsitektur
tinggi. Masjid itu diberi nama Mangal Mangil Mangup.Konon dengan segala karomahnya, masjid itu dipindahkan secara gaib ke Gunung Sembung Cirebon yang pada masa itu menjadi kediaman Syeh Maulana
Syarif Hidayatullah. Hingga kini banyak orang yang ngalap berkah di makam Syech Quro. Mereka yang mempunyai hajat berziarah ke makam lalu mengambil abu tempat pembakaran kemenyan yang terletak di depan makam.

Selain itu mereka juga membawa air putih supaya didoakan oleh juru kunci makam. “Saya mendoakan hajat para peziarah kepada Allah melalui perantara Syech Quro. Ada yang minta
kenaikan pangkat, dagangannya supaya laris, menyukai lawan jenis atau minta keselamatan,”jelas
Habib Rista. Diuraikannya, abu dari makam Syech quro itu memiliki bermacam-macam fungsi. Jika ingin dagangannya laris maka abu itu disebar di depan took atau warungnya.Kalau ingin karirnya meningkat, abu itu bias disebar di kantor atau perusahaan tempatnya bekerja.

“Sedang jika mencintai seseorang supaya dapat menikahi, abu itu dapat ditaruh di rokok , asapnya
dikepulkan di depan orang yang taksir. Atau disebar di depan rumah orang ygang dituju tersebut,”papar
Rista. Jika keinginan mereka telah terkabul, peziarah itu biasanya melakukan syukuran bereupa nasi lengkap
dengan lauk pauk. Nasi itu lalu diberi doa pula dan sebagian diberikan kepada juru kunci, sebagian
dibawa pulang lagi untuk dimakan bersama keluarga.

Peziarah yang datang tercatat dari berbagai kota di pualu jawa, mulai dari Karawang, Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon dan beberapa kota di jawa tengan dan jawa timur. Jika peziarah dari luar kota , mereka bisa menginap di mushola yang berada di komplek pemakaman. “Banyak pula yang sengaja menginap untuk mencari wangsit atau petunjuk,”katanya. Makam Bersinar Keberkahan makam Syech Quro tak lepas dari riwayat penemuannya yang menakjubkan.

Rista menceritakan, pada abad ke-17 terdapat seorang yang bernama Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Penganten Sambri. Beliau keturunan Munding Kawangi dari leluhurnya Kerajaan Galuh Pakuan,Pajajaran. Dia diminta bantuan oleh Kesultanan Cirebon,untuk mencari di mana,adanya atau tempatnya Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syekh Quro. Setelah adanya permohonan dari kesultanan Cirebon tersebut,Raden Somaredja dengan membawa pengawalnya dari kesultanan menuju ke arah barat yaitu ke daerah Cianjur lalu ke Bogor yaitu,ke dusun Citeurep menemui pangeran Sake turunan dari Syekh Maulana Yusuf dari Banten.

Kemudian Raden Somaredja menceritakan maksud dan tujuannya.Di tempat itulah,Raden Somaredja mendapat ilham untuk melanjutkan pencariannya ke daerah Karawang hingga sampailah di Kuta Tandingan. 
Di lokasi tersebut,beliau bertemu dan di sambut baik oleh Eyang Sarpi.Karena Raden Someredja orang yang baik hati dan cerdas, oleh Eyang Sarpi di angkat menjadi menantu atau di
nikahkan dengan salah seorang putri angkatnya yang bernama Nyai Anisa. Pernikahan Raden Someredja dengan Nyai Anisah,di karuniai tiga putra yaitu, Raden Suryadiredja alias Dji’in, Raden Suryadidjaya alias Mian, Raden Suryawidjaya alias Embeh. Dari ke tiga turunan inilah,yang telah menurunkan para pemimpin desa Pulokalapa dan Pengurus Makom Syekh Quro.

Sejak punya anak pertama Raden Suryaredja alias Dji’in,maka Raden Somaredja di sebut Ayah Dji’in dan
Nyai Anisah istrinya di sebut Ma Ini. Eyang Sarpi sebagai mertua dari Raden Somaredja,mengingatkan
agar Raden Somaredja segera melanjutkan perjalanannya. Seterusnya,Somaredja beserta keluarga dan para
pengawalnya,melanjutkan lagi ke daerah Karawang sebelah Utara hingga sampai,ke salah satu perkampungan yang disebut Pulo Kalapa. sampai didesa Pulo Kalapa pada tahun 1850 dan pada waktu itu
lahannya masih rawa-rawa belantara yang selajutnya di olah oleh Raden Somaredja menjadi lahan
pertanian yang subur. “Namun pada sewaktu pengelolaan lahan tersebut,ada sesuatu yang aneh,di suatu lahan yaitu di Tanah Timbul selalu banyak binatang-binatang buas dan berbisa,seperti ular, harimau dan
sebagainya,

"Kisahnya. Bahkan di tempat itu setiap malamnya terlihat oleh Raden Somaredja selalu munculnya cahaya yang bersinar. Para pengikut Raden Somaredja pun ketika membuka lahan tersebut banyak yang sakit. Raden Somaredja semakin penasaran dan berniat untuk meneliti tempat itu. Setelah ada niatan tersebut di setiap tidurnya dia ia selalu bermimpi dan melihat seorang ulama besar yang berpakaian jubah putih memegang tasbih sedang bertawasul dan berdzikir kepada allah SWT . Hingga tiga kali mimpi itu selalu muncul hal yang sama.

Dengan berulangnya mimpi yang sama,lalu Raden Somaredja melakukan istikomah dengan hati yang
tulus dan ikhlas untuk memohon petunjuk dari Allah SWT. Namun sebelumnya beliau melantunkan adzan terlebih dahulu di tempat tersebut, tiba- tiba ada yang menyahutnya, ketika selesai tawasul,di bacakannya
salam, ada juga yang menyahutnya. “ Ketika dilihat,di depannya ada cahaya yang bersinar
dan bersuara serta mengatakan, bahwa beliau adalah Syekh Quro. Tempat itu persis di atas tumpukan bata-
bata yang ukurannya tidak sama dengan bata biasa. Sampai sekarang di sebut Kramat Pulobata,”cetusnya. Atas temuannya itu,Raden Somaredja langsung melaporkan ke keraton Cirebon, sekaligus ingin adanya saksi atas temuan itu.

Sehingga,sesuhunan Cirebon mengutus Juru Kunci Astana Gunung Jati yakni ,Kyai Talka atau Kyai Tolakoh,untuk segera pergi ke tempat dimana temuan Raden Somaredja tersebut. Kyai Tolakoh dan Raden Somaredja sampai di Pulobata, masih menjumpai cahaya yang bersinar. Terlihat oleh keduanya.seseorang yang berpakaian jubah putih memegang tasbih yang sedang berdzikir. Dan ketika diberi salam,bayangan orang yang sedang berdzikir itu menjawab sambil memberikan pesan,“ Jaga dan peliharalah tempat ini, Insya Allah akan membawa keberkahan untuk semuanya“. Setelah itu,bayangan dan sinar tersebut menghilang tanpa wujud. Pada waktu itu,bertepatan pada Hari Jum’at malam Sabtu Kliwon akhir bulan Rewah atau Sya’ban tahun 1277 H / 1859 M .

Sejak itu,Raden Somaredja dan Kyai Talka melaporkan temuan tersebut ke kesultanan. Sehingga para ulama Kraton Cirebon berkunjung ke tempat tersebut untuk melakukan istigosah bersama. Semua sependapat dan meyakini bahwa di tempat itulah keberadaan makam karomah Syeh Quro. Kemudian tempat itu diberi tanda, dengan membawa Batu Jahul atau Batu nisan dari Cirebon. Setiap Jum’at malam sabtu akhir bulan Sya’ban diperingati Haul Syeh Quro. Pada malam Sabtunya,ribuan jamaah mengadakan dzikir atau tawasul akbar . Atas amanah tersebut, Raden Somaredja memelihara tempat itu hingga wafatnya
pada tahun 1916 Masehi. Dia dimakamkan di Dusun Krajan I Desa puloklapa.

Sebelum Raden Somaredja alias Ayah jiin atau Pangeran Sambri yang turunan Munding Kawangi Raja Galuh Pakuan Pajajaran meninggal, beliau memberikan pesan atau wasiat kepada turunanya untuk melanjutkan memelihara makam Syeh Quro. Diuraikan Rista, sejarah ditemukannya makam Syeh Quro ini, di ambil dari keterangan Raden Suryadidjaya alias Bah Mian atau Mail, putra kedua Raden Somaredjan yang ketika wafatnya berusia 105 tahun dan, di makamkan di dekat Makam Syeh Quro Pulobata pada tahun 1950 Masehi.

Ada pun turunan Raden Somaredja yang ke satu Raden Suryadireja ( Dji’in ) dan Raden Suryawidjaya
( Embeh ),setelah wafatnya di makamkan di dekat makam Raden Somaredja di dusun kerajan I desa Pulo
kalapa. Riwayat Syech Quro Rista juga mengkisahkan tentang riwayat Syech Quro. Syceh Quro hidup pada waktu tanah Jawa masih dibawah kekuasaan Negeri Pajajaran dan masih menganut agama Hindu, Rajanya bernama Prabu Anggalarang. Kekuasannya raja tersebut meliputi wilayah Karawang.

Syech Quro datang ke tanah Karawang sekitar tahun 1409 Masehi,Syekh Quro menyebarkan Agama islam di negeri Campa, lalu ke daerah Malaka dan dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampai ke Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Disini beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana.

Masyarakat sekitar msangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di sebut
ajaran agama Islam. Penyebaran agama Islam yang disampaikan oleh syekh Quro di tanah Jawa rupanya sangat mencemaskan raja Pajaran Prabu Anggalarang. Sehingga pada waktu itu penyebaran agama Islam agar dihentikan.Perintah dari Raja Pajajaran tersebut dipatuhi oleh Syeh Quro. Namun kepada utusan dari Raja Pajaran yang mendatangi Syekh Quro,beliau mengingatkan,meskipun ajaran agama Islam dihentikan penyebarannya tapi kelak, dari keturunan Prabu Anggalarang akan ada yang menjadi seorang
Waliyullah.

Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri Campa. Waktu itu pula
Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang,untuk ikut dan berguru pada
Syekh Quro. Tak lama kemudian Syekh Quro datang kembali ke negeri Pajajaran beserta Rombongan para santrinya dengan menggunakan Perahu dagang. Didalam rombongan adalah, Nyi Mas Subang Larang,
Syekh Abdul Rahman, Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom. Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali Citarum, yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai Keluar masuk para pedagang ke Pajajaran,akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang.

Mereka masuk Karawang sekitar 1416 M. Karena rombongan tersebut,sangat menjunjung tinggi
peraturan kota Pelabuhan,sehingga aparat setempat sangat menghormati dan,memberikan izin untuk
mendirikan Mushola ( 1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah sekaligus tempat tinggal mereka. “Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Quro menyampaikan dakwahnya di mushola yang dibangunya ( sekarang Mesjid Agung Karawang ),”ujar Rista.


Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama murid-muridnya,Nyi Subang Larang,Syekh Abdul Rohman,Syekh Maulana Madzkur dan santri lainnya seperti ,Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Ayekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (sayidina Usman bin Affan).

Berita kedatangan kembali Syekh Quro,rupanya terdengar oleh Prabu Anggalarang yang pernah melarang penyebaran agama islam di tanah Jawa,sehingga Prabu Anggalarang mengirim utusannya untuk menutup pesantren Syekh Quro.Utusan yang datang itu adalah Putra Mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi). Sesampainya di pesantren putra mahkota tersebut hatinya tertambat oleh alunan suara yang merdu yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang,”dalam mengalunkan suara pengajian Al-Qur’an,” Prabu Pamanah Rasa akhirnya mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Atas kehendak yang Maha Kuasa (Allah Subhanahu Wata'ala), Prabu Pamanah Rasa menaruh perhatian khususnya pada Nyi Subang Larang yang cantik dan merdu suaranya.

Akhirnya Prabu Pamanah Rasa melamar dan ingin mempersunting Nyi Subang Larang sebagai permaisurinya. “Pinangan tersebut diterima tapi,dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus, yang di maksud itu adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berwirid. Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Islam,”katanya. Selain itu,Nyi Subang Larang mengajukan syarat lain yaitu,agar kelak anak-anak yang lahir dari mereka harus menjadi Raja.


Menurut cerita,semua permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Atas petunjuk Syekh Quro, Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah. Di tanah suci Mekkah,Prabu Pamanah Rasa disambut oleh seorang kakek penyamaran dari Syekh Maulana Jafar Sidik.Prabu Pamanah Rasa merasa keget,ketika namanya di ketahui oleh seorang kakek. Dan Kekek itu bersedia membantu untuk mencarikan Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan dua kalimah syahadat. Sang Prabu Pamanah Rasa dengan tulus dan ikhlas mengucapkan, dua kalimah syahadat yang makna pengakuan pada Allah SWT,sabagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan, Muhammad adalah utusannya. Semenjak itulah,Prabu Pamanah Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus atau
Tasbeh. Mulai dari itu, Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama islam yang sebenarnya. Prabu
Pamanah Rasa segera kembali ke Kraton Pajajaran untuk melangsungkan pernikahannya denga Nyi Subang Larang . Pada tahun 1422 M, pernikahan di langsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin langsung oleh Syekh Quro. Setelah menikah Prabu Pamanahah Rasa dan dinobatkan sebagai Raja Pakuan Pajajaran
dengan gelar Prabu Siliwangi. Hasil dari pernikahan tersebut mereka dikarunai 3anak yaitu, Raden Walangsungsang ( 1423 Masehi), Nyi Mas Rara Santang ( 1426 Masehi), dan Raja Sangara ( 1428 Masehi).

Demikian Pembahasan Mengenai Syekh Quro Dan Prabu Siliwangi, Mudah mudahan para pembaca sekalian bisa mendapat hikmah dari kisah tersebut.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »